disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Buddhisme
oleh : Fadhilati Haqiqiyah
A.
Pengertian
Tripittaka
Ajaran agama Buddha bersumber pada
kitab Tipitaka yang merupakan kumpulan Khotbah, keterangan, perumpamaan, dan
percakapan yang pernah dilakukan Sang Buddha dengan para siswa dan pengikutnya.
Dengan demikian, isi kitab tersebut
semuanya tidak berasal dari kata-kata Sang Buddha sendiri, melainkan juga
kata-kata dan komentar-komentar dari para siswanya. Oleh para siswanya sumber
ajaran tersebut dipilah menjadi tiga kelompok besar, yang dikenal dengan
pitaka.[1]
Tipitaka adalah kumpulan ajaran Buddha selama 45 tahun dalam bahasa Pali.[2]
B.
Sejarah
Penulisan Tripittaka
Tiptitaka dihimpun dan disusun dalam
bentuknya seperti saat ini oleh para Arahanta yang memiliki kontak langsung
dengan Sang Guru sendiri.
Buddha telah wafat, namun Dhamma
luhur yang ia wariskan secara terbuka kepada manusia tetap hidup dalam
kemurniannya. Walaupun Sang Guru tidak meninggalkan catatan tertulis tentang
ajarann Nya, para siswa terkemuka Nya melestarikannya dengan apa adanya secara
ingatan dan menurunkannya secara oral dari generasi ke generasi.[3]
Beberapa minggu setelah Sang Buddha
wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin bernama Subhaddha
berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang
kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang
sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita,
tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat
apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa
Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan
Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari
Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk
mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan
menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha,
mendapat kehormatan untuk mengulang kembali kotbah-kotbah Sang Buddha (Dhamma)
dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan
Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab
Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut
dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran
sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya
sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".
Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini
diwariskan secara lisan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Satu abad
kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya.
Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya
sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua
dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali)
diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh
kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut
Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri
Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad
setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar
Theravãda dan Mahayana.
Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna)
pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di
bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan
pengaruhnya banyak membantu menyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan.
Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha
dangan maksud menyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat.
Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan
membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan
pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat
mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan.
Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh
penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara
(Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad
keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci
Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah
agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.
Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay
(Burma) pada permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan
Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali)
diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di
bukit Mandalay.
Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari
Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun
Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan
ke dalam beberapa bahasa Barat.
Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa
pada abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan
Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada
Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian
meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya
kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sansekerta dengan banyak tambahan
sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).
Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya
sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan
penghayatan dan pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka
(Pali) sehingga dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara
Theravãda di Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di
negara-negara lain.
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab
Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada,
Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab
Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah
mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak
ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka,
Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.[4]
Ringkasan
Setelah Sang Buddha
parinibbana (543 SM), tiga bulan kemudian diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha
Samaya).
SIDANG AGUNG I (KONSILI I)
·
Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung selama 2
bulan.
·
Dipimpin oleh YA.Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya
Arahat.
·
Sidang diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha.
·
Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu.
Tujuan Sidang:
·
Menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di
tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan.
·
Mengulang Dhamma dan Vinaya agar Ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi
ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang
Dhamma.
Kesimpulan/Hasil Konsili I:
·
Sangha tidak akan menetapkan hal-hal mana yang perlu dihapus dan hal-hal mana
yang harus dilaksanakan, juga tidak akan menambah apa-apa yang telah ada.
·
Mengadili Y.A. Ananda
·
Mengucilkan Chana
·
Agama Buddha masih utuh.
SIDANG AGUNG II (KONSILI II)
- Diadakan pada tahun 443 SM (100 tahun sesudah yang I), berlangsung selama 4 bulan.
- Dipimpin oleh YA. Revata dan dibantu oleh YA. Yasa serta dihadiri oleh 700 Bhikkhu.
- Sidang diadakan di Vesali.
- Sponsor sidang agung ini adalah Raja Kalasoka.
Tujuan Sidang:
·
Sekelompok Bhikkhu Sangha (Mahasanghika) menghendaki untuk memperlunak
Vinaya yang sangat keras (tetapi gagal).
Kesimpulan/Hasil Konsili II:
·
Kesalahan-kesalahan Bhikkhu-Bhikkhu dari suku Vajjis yang melangggar pacittiya
dibicarakan, diakui bahwa mereka telah melanggar Vinaya dan 700 Bhikkhu yang hadir
menyatakan setuju.
·
Pengulangan Vinaya dan Dhamma, yang dikenal dengan nama "Satta Sati"
atau "Yasathera Sanghiti" karena Bhikkhu Yasa dianggap berjasa
dalam bidang pemurnian Vinaya.
SIDANG AGUNG III (KONSILI III)
- Diadakan pada tahun +/- 313 SM (230 tahun setelah sidang I).
- Dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta.
- Sidang diadakan di Pataliputta.
- Sidang Agung ini dibantu oleh Raja Asoka dari Suku Mauriya.
Tujuan Sidang:
·
Menertibkan perbedaan pendapat yang mengaktifkan perpecahan Sangha.
·
Memeriksa dan menyempurnakan Kitab Suci Pali (memurnikan Ajaran Sang Buddha).
·
Raja Asoka meminta agar para Bhikkhu mengadakan upacara Uposatha setiap bulan,
agar Bhikkhu Sangha bersih dari oknum-oknum yang bermaksud tidak baik.
Kesimpulan / Hasil Konsili III:
·
Menghukum Bhikkhu-Bhikkhu selebor.
·
Ajaran Abhidhamma diulang tersendiri oleh Y.A. Maha Kassapa, sehingga
lengkaplah pengertian Tipitaka (Vinaya,Sutta, dan Abhidhamma). Jadi pengertian
Tipitaka mulai lengkap (timbul) pada Konsili III.
·
Y.A. Tissa memilih 10.000 orang Bhikkhu Sangha yang benar-benar telah memahami
Ajaran Sang Buddha untuk menghimpun Ajaran tersebut menjadi Tipitaka dan
perhimpunan tersebut berlangsung selama 9 bulan.
Keterangan:
·
Pada saat itu Sangha sudah terpecah dua,
yaitu : Theravãda (Sthaviravada) dan Mahasanghika.
·
Sementara itu ada ahli sejarah yang
mengatakan bahwa pada Konsili III ini bukan merupakan konsili umum, tetapi
hanya merupakan suatu konsili yang diadakan oleh Sthaviravada.
SIDANG AGUNG IV (KONSILI IV)
- Diadakan pada masa pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya (tahun 101 - 77 SM).
- Dipimpin oleh Y.A. Rakhita Mahathera dan dihadiri oleh +/- 500 Bhikkhu.
- Sidang diadakan di Alu Vihara (Aloka Vihara) di Desa Matale.
Tujuan Sidang:
·
Mencari penyelesaian karena melihat terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang
mengancam Ajaran-ajaran dan kebudayaan-kebudayaan Agama Buddha oleh pihak-pihak
lain.
Kesimpulan / Hasil Konsili IV:
·
Mengulang Tipitaka.
·
Menyempurnakan komentar Tipitaka.
·
Menuliskan Tipitaka dan komentarnya di atas daun lontar.
Keterangan:
·
Konsili ini diakui sebagai konsili yang
ke IV oleh sekte Theravãda.[5]
Tipitaka
dituliskan
Pada saat itulah para bhikkhu di Mahavihara merasa sudah waktunya untuk menuliskan Ajaran Buddha yang selama ini diwariskan dari mulut ke mulut. Kitab Mahavamsa hanya memberikan sedikit keterangan mengenai hal ini. Tidak disebutkan keterangan mengenai tempatnya maupun siapa yang menyandang dana untuk menyelesaikan pekerjaan besar ini. (Mahavamsa 33, 100-101).
Namun secara tradisi dipercaya bahwa 500 bhikkhu berkumpul di Alu-vihara (Aloka-vihara) dan mendapat dukungan dari seorang kepala suku untuk menyelesaikan karya besar ini.
Sebab-sebab yang mendorong penulisan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pulau Lanka selalu dirundung ancaman serangan oleh negara asing non-Buddhis dan apabila mereka sampai berhasil, hal tersebut akan sangat merugikan Agama Buddha. Pertempuran dan gejolak politik mungkin akan mendorong diterlantarkannya pusat pengajaran utama seperti misalnya Mahavihara. Hal ini juga jelas akan mengakibatkan terpisahnya guru dengan murid sehingga proses pewarisan ajaran menjadi terganggu.
2. Bencana kelaparan yang baru saja terjadi menyadarkan para bhikkhu akan kerawanan apabila membiarkan pewarisan Ajaran Buddha berlangsung secara mulut ke mulut. Para bhikkhu mengalami sendiri betapa susahnya mempertahankan kelestarian ajaran selama masa kemiskinan yang hebat itu.
3. Semakin hari semakin banyak orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang memasuki Sangha. Jelas mereka tidak dapat diandalkan untuk menjaga kemurnian Ajaran Buddha. Kitab Mahavamsa malahan mencatat hal ini sebagai sebab utama penulian Tipitaka (Mahavamsa 33, 101).
4. Sebab yang terakhir, namun bukan yang paling ringan, adalah pendirian kelompok Sangha baru di Abhayagirivihara yang terpisah dari Mahavihara. Malahan raja nampak sangat berpihak kepada kelompok Abhayagirivihara. Karena itulah agaknya para bhikkhu memilih untuk melakukan pekerjaan penulisan naskah di Aloka-vihara, suatu tempat di pinggiran Matale di propinsi tengah, jauh dari Anuraddhapura, ibukota kerajaan tempat tinggal Raja Vattagamani. Lebih lanjut kita juga bisa menduga mengapa dukungan diberikan oleh seorang kepala suku, bukan oleh raja sebagaimana seharusnya.[6]
Pada saat itulah para bhikkhu di Mahavihara merasa sudah waktunya untuk menuliskan Ajaran Buddha yang selama ini diwariskan dari mulut ke mulut. Kitab Mahavamsa hanya memberikan sedikit keterangan mengenai hal ini. Tidak disebutkan keterangan mengenai tempatnya maupun siapa yang menyandang dana untuk menyelesaikan pekerjaan besar ini. (Mahavamsa 33, 100-101).
Namun secara tradisi dipercaya bahwa 500 bhikkhu berkumpul di Alu-vihara (Aloka-vihara) dan mendapat dukungan dari seorang kepala suku untuk menyelesaikan karya besar ini.
Sebab-sebab yang mendorong penulisan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pulau Lanka selalu dirundung ancaman serangan oleh negara asing non-Buddhis dan apabila mereka sampai berhasil, hal tersebut akan sangat merugikan Agama Buddha. Pertempuran dan gejolak politik mungkin akan mendorong diterlantarkannya pusat pengajaran utama seperti misalnya Mahavihara. Hal ini juga jelas akan mengakibatkan terpisahnya guru dengan murid sehingga proses pewarisan ajaran menjadi terganggu.
2. Bencana kelaparan yang baru saja terjadi menyadarkan para bhikkhu akan kerawanan apabila membiarkan pewarisan Ajaran Buddha berlangsung secara mulut ke mulut. Para bhikkhu mengalami sendiri betapa susahnya mempertahankan kelestarian ajaran selama masa kemiskinan yang hebat itu.
3. Semakin hari semakin banyak orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang memasuki Sangha. Jelas mereka tidak dapat diandalkan untuk menjaga kemurnian Ajaran Buddha. Kitab Mahavamsa malahan mencatat hal ini sebagai sebab utama penulian Tipitaka (Mahavamsa 33, 101).
4. Sebab yang terakhir, namun bukan yang paling ringan, adalah pendirian kelompok Sangha baru di Abhayagirivihara yang terpisah dari Mahavihara. Malahan raja nampak sangat berpihak kepada kelompok Abhayagirivihara. Karena itulah agaknya para bhikkhu memilih untuk melakukan pekerjaan penulisan naskah di Aloka-vihara, suatu tempat di pinggiran Matale di propinsi tengah, jauh dari Anuraddhapura, ibukota kerajaan tempat tinggal Raja Vattagamani. Lebih lanjut kita juga bisa menduga mengapa dukungan diberikan oleh seorang kepala suku, bukan oleh raja sebagaimana seharusnya.[6]
Daftara pustaka
Ali, Mukti, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Kalijaga
Press), 1988, cet. l
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, (Kuala Lumpu: Ehipassiko
Foundation), 2002, cet. ll
Tanhadi, Sejarah Tipitaka, diakses pada 02april 2013, dari
http://BUDHISME/sejarah%20TIPITAKA%20bagus.html
Virya, Sejarah Penulisan Tipitaka, diaksese pada 02 april 2013,
dari http:///BUDHISME/sejarah%20penulisan%20tipitaka%20dhamma%20citta.htm
[1] Ali,
Mukti, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Kalijaga Press), 1988, cet.
l, hal. 112
[2]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, (Kuala Lumpu: Ehipassiko
Foundation), 2002, cet. ll, hal. 97
[3]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, hal. 99
[4] Tanhadi,
Sejarah Tipitaka, diakses pada 02april 2013, dari http://BUDHISME/sejarah%20TIPITAKA%20bagus.html
[5] Tanhadi,
Sejarah Tipitaka, diakses pada 02april 2013, dari http://BUDHISME/sejarah%20TIPITAKA%20bagus.html
[6] Virya,
Sejarah Penulisan Tipitaka, diaksese pada 02 april 2013, dari http:///BUDHISME/sejarah%20penulisan%20tipitaka%20dhamma%20citta.htm
No Response to “sejarah penulisan Tripitaka”
Leave a Reply