Aliran Tantrayana, Mahayana, Vajrayana

disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Buddhisme
oleh : Fadhilati Haqiqiyah


1.              Aliran Tantrayana, Mantrayana, dan Vajrayana
Peristiwa terpenting yang terjadi di India pada periode ketiga (500-1000 M) adalah munculnya Tantra. Tantra adalah pencapaian pemikiran kreatif Buddha di India yang ketiga, tertinggi, dan terakhir. Perkembangan Tantra mengalami tiga tahap. Tahap pertama disebut Mantrayana, dimulai pada abad ke-4 dan mencapai kemajuan setelah tahun 500 M. Tahap ini memperkaya Buddha, melalui tradisi yang bersifat gaib, serta memanfaatkannya sebagai alat atau perlengkapan yang mempermudah mencapai tujuan Pencerahan. Dengan cara ini banyak mantra, mudra, mandala, dan makhluk-makhluk luhur baru diperkenalkan ke dalam agama Buddha walau belum secara sistematis. Setelah tahun 750, terjadi perkembanagn yang sistematis yang disebut Vajrayana, yang mengkoordinasikan ajaran-ajaran terdahulu dalam suatu kumpulan yang berisi Lima Tathagata. Dengan berlalunya waktu, kecenderungan-kecenderungan dan perkembangan sistem berikutnya memperbaharui penampilan mereka. Hal yang patut diperhatikan di antaranya adalah Sahajayana menekankan pula praktik-praktik meditasi dan pengembangan intuisi yang diajarkan melalui teka-teki, paradoks-paradoks, dan patung-patung, serta menghindari kemungkinan berubah menjadi sistem filasafat yang statis dengan mempertahankan ajaran-ajaran atau prinsip-prinsip yang tidak tegas. Menjelang akhir periode ini, pada abad kesepuluh, ada Kalacakra, “Roda Waktu” yang ditandai dengan luasnya sinkretisme berbagai aliran, dan penekanan pada astrologi.
Gerakan baru ini timbul di Selatan dan Barat Laut India. Pengaruh-pengaruh non-India, yaitu dari Cina, Asia Tengah, dan daerah-daerah perbatasab di seitar India, memegang peranan penting dalam pembentukan gerakan ini. Juga banyak menyerap gagasan dari suku bangsa asli dari India sendiri. Tantra berusaha memberikan peranan terhormat kepada semua roh, bidadari, peri, makhluk halus, raksasa, dan hantu-hantu yang telah menghantui imajinasi penduduk, juga kepada perbuatan-perbuatan gaib yang tidak asing bagi penduduk pertanian maupun penduduk nomaden. Langkah lanjut untuk mempopulerkan agama ini, dimaksudkan untuk memberikan dasar yang lebih kuat di dalam masyarakat. Tetapi sepanjang menyangkut kepentingan kaum elit, ada perbedaan penting dimana non-Buddhis menggunakan ilmu gaib dalam rangka untuk memperoleh kekuasaan, sedangkan umat Buddha menggunakannya untuk membebaskan diri mereka sendiri dari kekuatan-kekuatan asing untuk menemukan jati diri.[1]
Tantrayana
Penggunaan kata "Tantra" sendiri memiliki arti merajut atau menenun, ini merupakan sebuah istilah yang mengarah pada gabungan kondisi pikiran, ucapan, tindakan yang bersifat rahasia dan memiliki tujuan untuk berusaha memahami sifat sejati "seseorang" yang sebenarnya adalah seorang Buddha, hanya saja "seseorang" tersebut masih seorang insan calon Buddha yang belum menyadari kebijaksanaan ke-Buddha-an dalam dirinya sendiri saat ini.[2]
Agama Buddha Tantrayana sebenarnya merupakan perkembangan lanjutan dari agama Buddha Mahayana yang dianggap cukup memegang peranan penting dalam penyebarannya di wilayah India hingga ke Asia sejak awal tahun 400 Masehi. Aliran agama Buddha Tantrayana ini menekankan pada hal akhir tentang "keselamatan tertinggi / Nibbana" yang dapat dicapai melalui berbagai macam metode meditasi dan visualisasi (segi pikiran), mantera (segi ucapan) serta pembentukan mudra (segi jasmani) hasil observasi dan analisa yang mendalam dari para Guru Akar, dimana hal-hal tersebut harus dilakukan secara harmonis oleh seorang sadhaka dengan cara berusaha memahami sifat jati diri ke-Tuhan-an yang absolut dan pemanfaatan kekuatan alam semesta lewat bimbingan seorang guru spiritual Tantrayana yang ahli.
Aliran agama Buddha Tantrayana ini juga biasa disebut sebagai aliran esoteris atau aliran rahasia yang mengandung kegaiban.
Perbedaan dasarnya adalah, bila aliran esoteris meyakini : kemampuan pencapaian Nibbana atau tubuh ke-Buddha-an dapat diraih dalam waktu sekejab di kehidupan ini lewat sadhana yang benar, sedangkan aliran eksoteris lebih meyakini : kemampuan pencapaian Nibbana atau tubuh ke-Buddha-an hanya dapat diraih dengan melewati beberapa kali kehidupan secara bertahap dan terus menerus bertumimbal lahir hingga waktu yang tepat (bisa dalam tujuh kali kehidupan atau lebih, bahkan ada yang sampai bermilyar-milyar kali kehidupan).[3]
Mantaryana
Bahwa Mahayana lambat laun menujun ke arah jalan kelepasan yang lain daripada yang ditawarkan oleh Buddha semula. Maka dengan jelas orang mulai merumuskan berbagai jalan kelepasan, seperti yang diperkembangkan juga oleh agama Hindu.[7]
Pada mulanya perkembangan Mantrayana ini merupakan reaksi alami terhadap tren sejarah yang makin tidak sesuai dan mengancam kepunahan agama Buddha India. Untuk mempertahankan dan melindungi diri, penganut-penganutnya semakin banyak menggunakan kekuatan mukjizat dan meminta pertolongan dari makhluk-makhluk luhur, yang keberadaan sebenarnya telah dibuktikan oleh mereka sendiri melalui pelaksanaan meditasi trans. Di antara ini, perhatian besar ditunjukkan kepada makhluk luhur berpenampilan menyeramkan, seperti “Pelindung Dharma”, yang disebut juga vidyaraja, “raja adat dan pengetahuan yang suci” yang bermaksud baik tetapi menampilkan wajah yang megerikan untuk melindungi orang yang percaya. Menarik juga untuk dicatat bahwa utuk mendapatkan perlindungan, umat Buddha pada masa itu mengandalkan makhluk-makhluk luhur feminin. Sekitar tahun 400 M, Tara dan Prajnaparamita dipuja sebagai Bodhisattwa Kosmis.[8]
Di dalam abad ketujuh timbul lagi suatu jalan yang ketiga yang disebut Mantrayana atau jalan dengan kalimat-kalimat yang mempunyai daya gaib (mantra). Nama-nama lainnya yang dipakai ialah Tantrisme, karena pandangan-pandangan mengenai jalan ini dicantumkan dalam Tantra-tantra; dan Vajrayana atau jalan intan, perjalanan intan, ialah yang keras dan tak terbinasakan, yaitu kenyataan yang tertinggi.[9]
Menurut namanya, maka aliran ini mencari alat gaib teristimewa di dalam mantra, kalimat yang berkekuatan gaib. Tetapi selanjutnya, gambaran-gambaran (mandala) dan perbuatan-perbuatan upacara keagamaan, di mana sikap tangan (mudra) sangat penting memainkan peranan juga. Juga pertarakan  dan yoga di sini mendapat tempat pula, seperti pendapat yang kita jumpai di dalam zaman yang jauh lebih tua lagi di dalam agama Buddha, bahwa manusia yang mebuat kemajuan-kemajuan di jalan yang menuju kepada pengertian yang mendalam, mendapat kekuatan-kekuatan yang istimewa pula.
Shadaka, ialah orang yang menjalankan perbuatan-perbuatan magis, atau sebenarnya orang yang berusaha ke arah tujuannya, menghubungkan dirinya sendiri dengan alat-alat magis (mantra, mudra) ke dalam keseluruhan tenaga-tenaga kosmis dan mengekang serta menguasainya.
Hal ini berarti bahwa dalam setiap usaha untuk membentuk suatu Mandala haruslah memiliki suatu nilai praktis yang mempengaruhi prilaku perseorangan (carya). Mantrayana ini juga memiliki sikap yang tegar menentang segala bentuk khayalan dan menumbuhkan bodhi sebagai lawan dari nirodha. Kesemua hal ini, dilaksanakan untuk mencapai langkah terakhir yakni guru yoga sebagai sarana kekuatan untuk mengatasi diri seseorang.
Dalam pengertian yang dalam dapat dikatakan, bahwa guru yoga adalah kenyataan itu sendiri yang dapat kita saksikan dan berada dimana-mana. Namun tanpa bimbingan seorang guru (manusia) yang telah mempraktekkan yoga dan mampu membimbing siswanya dalam menempuh halangan-halangan yang sulit.
Istilah Mantrayana kelihatannya telah menerima aslinya pada keperluan khusus bahwa cabang Mahayana yang menganjurkan pembacaan ulang mengenai mantra sebagai usaha prinsip mengenai paramita. Menurut Shashi Bhusan Dasgupta: ‘Mantrayana adalah sekte dari Mahayana’, kelihatannya adalah tingkat perkenalan mengenai Buddhisme Tantra dari semua cabang mengenai Vajrayana, Kalacakrayana, Sahajayana, dan seterusnya yang timbul dikemudian hari.
Meskipun demikian, sebagai keadaan hal yang sebenarnya dengan cabang-cabang Tantra Cina dan Jepang, istilah Mantrayana berlanjut di dalam penggunaan sebagai suatu petunjuk kolektif tidak hanya untuk memperkenalkan tapi juga untuk tingkat lebih lanjut dari gerakan Tantra, dan seperti itu dari satu waktu dipakai sampai dengan sekarang.[4]
Vajrayana
Berasal dari kosa kata Sanskrit "Vajra" yang berarti berlian dalam aspek kekuatannya, atau halilintar dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya. Serta dari kata "yana" yang berarti wahana/kereta. Menurut Wang Shifu, Vajrayana merupakan Jalan Intan. Kata "Tantra" sendiri berarti "Tenun" dalam bahasa Sansekerta, merujuk kepada prakteknya yang bertahap namun pasti.
Vajrayana adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Vajrayana adalah merupakan ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha Mahayana, dan berbeda dalam hal praktek, bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran Vajrayana, latihan meditasi sering dibarengi dengan visualisasi.
Adapun tujuan akhir daripada Vajrayana, ialah mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan tubuh fisik kita saat ini, di kehidupan ini juga, tanpa harus menunggu hingga kalpa-kalpa yang tak terhitung. Oleh karena tujuan akhir inilah, di dalam Vajrayana ditemui metode-metode esoterik yang dengan cepat bisa membawa kita kesana.
Ajaran Vajrayana secara umum di berbagai negara lebih dikenal sebagai ajaran agama Buddha Tibet, yang merupakan bagian dari Mahayana dan diajarkan langsung oleh Buddha Sakyamuni yang amat cocok untuk di praktikkan oleh umat perumah tangga, umat yang hidup sendiri (tidak menikah), ataupun umat yang memutuskan untuk hidup sebagai bhiksu di vihara Vajrayana.
Menurut catatan, banyak sekali praktisi tinggi Vajrayana yang memiliki kemampuan (siddhi) yang luar biasa, misalnya: menghidupkan kembali ikan yang telah dimakan (Tilopa), terbang di angkasa (Milarepa), membalikkan arus sungai gangga (Biwarpa), menahan matahari selama beberapa hari (Virupa), mencapai tubuh pelangi (tubuh hilang tanpa bekas, hanya meninggalkan kuku dan rambut sebagai bukti), berlari melebihi kecepatan kuda, merubah batu jadi emas atau air jadi anggur, memindahkan kesadaran seseorang ke alam suci Sukavati (yang dikenal dengan istilah phowa), dapat meramalkan secara tepat waktu serta tempat kematian & kalahirannya kembali (H.H. Karmapa), lidah dan jantung yang tidak terbakar ketika di kremasi, terdapat banyaknya relik dari sisa kremasi, dll. Di dalam Vajrayana, semua hasil yang diperoleh dari latihan itu, haruslah disimpan serapi mungkin, bukan untuk di ceritakan pada orang lain. Sebagai pengecualian, boleh mendiskusikan hal tersebut dengan Guru, jika memang ada hal yang kurang mengerti.
Dalam ajaran Vajrayana, sekte menjadi penting karena merupakan sebuah identitas. Ini adalah sekilas informasi tentang sekte-sekte besar yang mempunyai tradisi ciri khasnya masing-masing :
1.                Sekte Gelugpa: pendirinya adalah Tsongkhapa (1357-1419) lebih menekankan kepada disiplin intelektual, karenanya para Bhiksu dari Gelug amatlah pandai dalam pembahasan Metafisika, filsafat, dll. Pusaka ajaran yang terkenal dari tradisi ini adalah Krama Marga alias Lam Rim (Jalan dan Tahap). Tradisi ini didirikan oleh Je Tsongkhapa, dengan Kadampa sebagai pendahulu Gelug, yang mana Kadampa ini didirikan oleh seorang Maha Guru India, yaitu Atisha Dipamkara.
2.              Sekte Skayapa: Kunchong Gyalpo (1034-1102) terkenal dengan naskah-naskah autentiknya, pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Lam Dray (Jalan dan Hasil). Tradisi ini berawal dari Sakya Shri Bhadra dari India, yang merupakan pemegang tahta terakhir dari Institut Buddhist Nalanda yang mengungsi ke Tibet pada saat invasi dari Moch.Bhaktiar Khalji, juga oleh beberapa Lotsava agung yg disebutkan oleh Vince Delusion sebelumnya.
3.               Sekte Kagyudpa: (Dagpo Kagyud) didirikan oleh Gampopa (1079-1133). terkenal sebagai tradisi Meditatif, lebih menekankan kepada metode-metode Yoga-nya. Pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Maha Mudra, yang meliputi Enam Yoga Naropa (tib.Naro Cho Drug ; skt.Saddharmopadesa), serta metode-metode esoterik lain yang menyertainya dari awal sampai akhir, juga pendidikan Shedras selama 12 tahun yang diikuti dengan retreat Maha Mudra di dalam ruang tertutup selama 3 tahun 3 bulan 3 hari merupakan ke-khas-an tersendiri dalam tradisi Kagyu.
4.               Sekte Nyingmapa: Dikenal sebagai tradisi non-Monastic. Terkenal dengan pusaka Terma nya,serta ajaran-ajaran esoterik langka di masa lampau. Ciri khas utama ajaran dari tradisi ini adalah Dzogchen (Maha Sandhi). Tradisi ini berawal dari Vajra Guru Padmasambhava (Lian Hua Sheng Da Shi) lebih kurang 700 M.[5]
2.              Ritual dan praktik
Tantrayana
Jalan Tantra berusaha untuk mengubah nafsu manusia dasar keinginan dan kemalasan dalam pertumbuhan rohani dan pembangunan. Jadi, bukannya menyangkal primal seksual dan sensual mendesak seperti dalam agama Buddha tradisional, praktek Tantra menerima ini mendesak kehidupan sebagai suci energi kekuatan, yang dimurnikan dan berubah menjadi kekuatan sehat dan sehat menghubungkan individu dengan kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Untuk menjadi sukses dengan kerja Tantra, seseorang harus memiliki keterampilan dalam kontrol diri dan penerimaan diri dan orang lain.
Tindakan atau perbuatan itu ada 3 macam, yakni: tubuh, vokal, dan mental. Pikiran atau perbuatan mental, darimana pikiran yang dikonsentrasikan ialah keserbaragaman yang paling manjur, menentukan ucapan dan tindakan yang mempengaruhi pikiran. Perbuatan sakral dari Tantra bertujuan menghasilkan suatu transformasi mengenai kesadaran dengan usaha dari (secara spiritual) suara dan gerakan yang sangat mempunyai arti secara spiritual.
Dengan suara yang sangat mempunyai arti secara spiritual dengan berbagai ‘dharani atau mantra’ yang disebabkan oleh akibat yang sangat besar pengulangan yang konstan ada pada pikiran, menduduki di dalam Buddism Tantra suatu posisi yang sangat penting. Gerakan yang sangat mempunyai arti itu secara spiritual mencakup semuanya yang diperbuat oleh sebagian tubuh, seperti mudra yang dilakukan oleh tangan, dan yang diperbuat mengenai sembah dan tari. Karena ritual dan perbuatan sakral dapat dibentuk hanya dengan tubuh. Tantra jauh dari menurunkan tubuh menyambutnya sebagai kapal keselamatan dan memujanya dengan suatu ekstent yang tidak terdengar dari dalam setiap bentuk lain Buddism. Lebih dari itu, tidak hanya bagian tubuh dari alam semesta material, tapi banyak obyek material dikerjakan untuk tujuan sakramen; karena itu Tantra menganggap dunia itu juga bukan sebagai suatu rintangan tapi sebagai suatu bantuan Penerangan, memuliakannya sebagai gambar hidup dari keselamatan dan wahyu dari Yang Absolut. Sebagai ganti mengorbankan dunia itu seseorang harus hidup di dalamnya, di dalam suatu jalan seperti itu bahwa kehidupan dunia sendirinya diubah ke dalam kehidupan transendental.
Menurut pandangan Tantra, menanamkan tubuh itu dengan kesucian adalah kemungkinan dari tindakan manusia pada pikiran bukan hanya oleh gerakan anggota tubuh tapi dengan memainkan pernafasan dan air mani, semuanya dihubungkan secara intim bahwa dengan mengendalikan setiap salah satu dari semua itu dan sisanya yang dua itu dikendalikan secara otomatis. Lagi, dihubungkan tidak sebanyak dengan perumusan filsafat yang luas daripada dengan notulen yang mendetail mengenai latihan spiritual, aspek-aspek tertentu yang terlalu kompleks, sulit, dan sedikit untuk disetujui dengan tulisan. Tantra tentu saja sangat menegaskan perlunya menerima inisiasi atau upacara dan petunjuk dari sorang guru spiritual yang ahli.
Mantrayana
Pokok-pokok ajaran Mantrayana dapat ditemui pada karya karya padma-dkarpo dari Tibet. Menurut beliau, tujuan dari Mantrayana adalah sama seperti apa yang dituju oleh aliran-aliran lainnya dalam agama Buddha, yakni kemanunggalan manusia dengan penerangan sempurna atau kesempurnaan secara spiritual.
Langkah pertama untuk mencapai tujuan tersebut menurut konsepsi Mantrayana adalah mengambil perlindungan serta mempersiapkan diri dengan berpedoman pada Bodhicitta, yang berarti fondasi dari segala macam kebaikan, sumber dari segala usaha kebahagiaan dan sumber dari kesucian. Bodhicitta biasanya terbagi menjadi dua bagian, yakni :
1.      Bodhi pranidhi citta : Tingkat persiapan untuk pencapaian kebuddhaan.
2.      Bodhi prasthana citta :Tingkat pelaksanaan sesungguhnya dalam usaha menuju cita-cita.
Bodhicitta adalah sebagai suatu sarana bagi setiap umat Buddha untuk mencapai tujuannya. Perlindungan tersebut meliputi perlindungan pada Sang Triratna. Dalam hal ini, Mantrayana memandang Sang Triratna bukanlah hanya sekedar pengertian harfiah, melainkan sebagai kekuatan spiritual yang disimbolkan oleh Triratna tersebut.
Sikap perlindungan yang demikian itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan keteguhan hati. Keteguhan hati ini berfungsi untuk menguak tabir rahasia untuk mencapai penerangan sempurna. Dan selanjutnya akan menumbuhkan perubahan sikap, membawa si siswa untuk mulai melihat keadaan sesungguhnya tentang 'diri' dan alam sekitarnya.
Tahapan selanjutnya yang harus dilaksanakan adalah memperkuat dan memajukan sikap baru yang diperoleh dari meditasi dengan membaca mantra berulang-ulang. Mantra adalah kata dalam bahasa sansekerta yang berarti pesona. Mantra adalah satu suku kata yang berfungsi sebagai 'suatu pelindung pikiran' yang mengandung kekuatan magis dan melambangkan Triratna (Buddha-Dharma-Sangha) ataupun makhluk-makhluk agung lainnya. Mantra juga merupakan formula untuk memelihara agar pikiran tetap terkonsentrasi, tidak melayang-layang tak menentu.
Langkah berikutnya adalah mempersembahkan suatu Mandala (gambar-gambar indah yang mengandung arti filosofis) sebagai sarana untuk menyempurnakan pengetahuan pengetahuan yang telah dicapainya. Setiap langkah dalam mempersiapkan Mandala ini haruslah selalu berhubungan dengan Sad Paramita (enam perbuatan yang luhur) maupun Catur Paramita (Brahma Vihara=empat keadaan batin yang luhur). Sad Paramita terdiri dari :
1)      Dana Paramita: Perbuatan luhur tentang amal secara materi maupun spiritual.
2)      Sila Paramita: Perbuatan luhur tentang kehidupan bersusila.
3)      Kshanti Paramita: Perbuatan luhur yang dapat menahan segala macam penderitaan.
4)      Virya Paramita: Perbuatan luhur mengenai keuletan dan ketabahan.
5)      Dhyana Paramita: Perbuatan luhur mengenai pemusatan pikiran (samadhi/meditasi).
6)      Prajna Paramita: Perbuatan luhur mengenai kebijaksanaan.
Catur Paramita atau Brahma Vihara (empat keadaan batin yang luhur) terdiri dari :
1)      Metta: Cinta kasih universal.
2)      Karuna: Welas asih, kasih sayang, belas kasihan universal.
3)      Mudita: Rasa simpati universal, rasa bahagia atas kebahagiaan makhluk lain.
4)      Upekha: Keseimbangan batin yang tak tergoyahkan.
Vajrayana
Dalam Vajrayana, terdapat banyak sekali metoda dalam berlatih. Memang banyak sekali praktisi Vajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita, yang sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah, mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebodohan / ketidak tahuan (Moha) yang dimiliki.
Praktek Vajrayana tidak terlepas dari penyapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra rahasia.
Ajaran Vajrayana sering juga disebut dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang akan ia peroleh.
Sang Buddha sering berpesan kepada murid-muridNya, bahwa mereka tidak boleh memperlihatkan kemampuan (siddhi) mereka, tanpa suatu tujuan yang mulia. Demikian pula, Para praktisi tinggi Wajrayana tidak pernah menunjukkan kemampuan mereka hanya demi ego, demi ketenaran, demi kebanggaan, ataupun demi materi. Para praktisi tinggi ini biasanya menunjukkan kemampuan pada murid-murid dekat, ataupun pada orang tertentu yang memiliki hubungan karma dengannya, demi Dharma yang mulia, misalnya untuk menghapus selubung kebodohan, ketidak tahuan, kekotoran batin, ataupun karena kurangnya devosi dalam diri murid tersebut.
Mazhab Tantrayana yang berkembang di Tibet sekarang ini pada umumnya adalah Vajrayana, mengenai Vajrayana di Tibet, Guru Rinpoche Padma Sambhava memberikan instruksi yang mencakup enam cara untuk mencapai pembebasan melalui proses pemakaian yang melibatkan Panca Skandha. Ke enam cara tersebut:
1.  Pembebasan melalui proses pemakaian
2.  Pembebasan melalui proses pendengaran
3.  Pembebasan melalui proses ingatan
4.  Pembebasan melalui proses penglihatan
5.  Pembebasan melalui proses Pengecapan
6.  Pembebasan melalui proses sentuhan.
Panca Skandha adalah suatu konsep dalam agama Buddha yang menyatakan bahwa manusia adalah merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang disebut lima kelompok kegemaran, terdiri atas:
1.      Rupaskandha/Rupakkhanda (kegemaran kepada bentuk)
2.      Vedanaskandha/Vedanakkandha (kegemaran kepada perasaan)
3.      Samjnaskhandha/Sannakkhandha (kegemaran kepada pencerapan)
4.      Samskaraskhandha/Sankharakkhandha(kegemaran kepada bentuk-bentuk pikiran)
5.      Vijnanaskhandha/Vinnanakkhandha (kegemaran kepada kesadaran).
Vajrayana memandang alam kosmos (alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk mencapai pembebasan. Apabila di Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh Buddha), maka didalam Vajrayana, Buddha bermanifestasi dan berada dimana-mana. Oleh karenanya, Buddha adalah wadah atau badan kosmik yang memiliki enam elemen, yakni : tanah, air, api, angin, angkasa dan kesadaran. Dalam rangkaian yang tersusun sebagai sistim, Vajrayana selain memiliki pandangan filosofis di atas, juga memiliki puja bakti ritual maupun sistim meditasi khusus yang disebut Sadhana yaitu meditasi dengan cara memvisualisasikan dengan mata batin, menyatukan mudra, dharani (mantra) dan mandala.[6]


mohon maaf apabila terdapat kesalahn dalam tulisan, karena penulis masih dalam tahap belajar. harap maklum :)


[1] Nopri dan Vita, Aliran Tantrayana, Mantrayana, Vajrayana, diakses pada 26 Mei2013, dari http://budhisme-sidharta.blogspot.com/2012/06/aliran-tantrayana-mantyayana-dan.html
[2] Jasaumum.com, Esoteris, diakses pada 2013, dari http://www.jasaumum.com/zfz300a.htm
[3] Jasaumum.com, Esoteris, diakses pada 2013, dari http://www.jasaumum.com/zfz300a.htm
[4] Nopri dan Vita, Aliran Tantrayana, Mantrayana, Vajrayana, diakses pada 26 Mei2013, dari http://budhisme-sidharta.blogspot.com/2012/06/aliran-tantrayana-mantyayana-dan.html
[5] Nopri dan Vita, Aliran Tantrayana, Mantrayana, Vajrayana, diakses pada 26 Mei2013, dari http://budhisme-sidharta.blogspot.com/2012/06/aliran-tantrayana-mantyayana-dan.html
[6] Nopri dan Vita, Aliran Tantrayana, Mantrayana, Vajrayana, diakses pada 26 Mei2013, dari http://budhisme-sidharta.blogspot.com/2012/06/aliran-tantrayana-mantyayana-dan.html

No Response to “Aliran Tantrayana, Mahayana, Vajrayana”

Leave a Reply